'Pegawai Rendahan'
Sudah lama saya tak mendengar istilah ini. Pulang kantor naik angkot 04 menuju Salemba lalu berjalan sekian meter untuk menanti bemo 'angkutan imoet jadul' tapi tak lekang oleh waktu itu. Bemo adalah moda transport favorit dari dan ke Manggarai- Salemba. Ia menjadi rebutan para pegawai, karyawan area Salemba dan sekitarnya. Ongkos murah meski agak berisik. Cukup bayar Rp 4000 (pasca kenaikan BBM).
Ya, tak apa lah dibandingkan harus naik ojeg dengan ongkos 20rb. Toh, saya selama ini memang sering tekor karena dimanjakan oleh ojeg agar dapat cepat sampai untuk cap jempol elektronik presensi di kantor. Seorang ibu yang sama-sama menanti si bemo, berbalik dan bertanya 'ibu mau ke Stasiun Manggarai juga?'. Seadanya saya jawab saja 'iya'. Si ibu lanjut 'patungan aja yuk naik bajaj'. Saya sambil mikir, sambil ngintip juga ke dompet 'semoga cukup jika naik bajaj'. Asumsi saya sebelum naik angkot adalah hanya menghabiskan 8000 saja untuk bisa sampai Manggarai. Empat ribu untuk angkot 04, empat ribu untuk naik bemo. Dan si ibu di depan saya menawarkan patungan ongkos. Saya iseng saja bertanya 'biasanya berapa Bu naik bajaj dari sini ke Manggarai? Ya, sekitar 15rb. Hmm, pikir si Ibu, kita perlu cari teman satu lagi supaya bisa bayar 5 ribu. Ok lah, tak apa rugi 1000rb. Privilege bajaj dan bemo beda kan?
Tiba lah BBG biru (bajaj bahan bakar gas). Kami pun naik angkutan mini ini. Sepanjang jalan, si bapak dan si ibu di samping saya asyik ngobrol membahas arah perjalanan masing-masing. Saya masih terdiam, maklum, kita adalah orang yang tak kenal, hanya satu tujuan menuju stasiun. Sesekali saya menengok dan menunjukkan perhatian serius agar tidak dikatakan autis. Dari obrolan mereka berdua tentang profesi dan tempat tinggal, si bapak ini sepertinya seorang pe en es, dan si ibu ini karyawan univ swasta depan Jalan salemba. Saya mencoba ikut menimpali obrolan seputar kehidupan para roker (rombongan kereta). Roker adalah istilah para pengguna kereta listrik. Yang menarik ketika si Bapak ini nyeletuk 'ya pegawai rendahan mah mau nggak mau harus bisa nyari teman untuk bisa pulang bareng, siasat hemat karena ongkos, apalagi ongkos makin mahal. Benar, pegawai rendahan seperti kita inilah yang masih terus memutar otak agar bisa menghemat pengeluaran.
Si ibu ini juga masih tetap membahas tentang komunitas roker. Saya sendiri sudah cukup lama menekuni kehidupan para roker yang umumnya punya kelompok cukup solid. Arisan roker, booking tempat duduk untuk teman dalam 1 gerbong, sampai calo seat dan komunitas CBC (Cilebut, Bojong, Citayam) hingga nama komunitas mereka diabadikan dalam gambar kaos oblong.
Tiba di stasiun Manggarai, masing-masing dari kami bertiga merogoh 5rban untuk bayar ongkos bajaj. Turun dari bajaj, si ibu sudah ngacir duluan, berlari, menghilang mengejar kereta. Si Bapak tadi juga demikian. Saya di belakang berjalan pelan sedang asyik merenungi peristiwa dengan senyum dikulum. Saya larut menghayati karakter-karakter manusiawi tadi. Sesaat dalam kepentingan untuk satu tujuan, ada kebersamaan yang sesaat, memanfaatkan peluang untuk bisa bersinergi dalam efisiensi transport:). Strategi untuk mengencangkan ikat pinggang agar bisa tetap hemat di ongkos. Bagi mereka toh kita menuju tujuan yang sama. Ya, inilah proses efisiensi yang real dan sederhana. Kita kembali mencari arah masing-masing. Pulang dan berpuas diri bahwa kita telah berhasil menghemat uang transport.
Saya yang sudah sejak tahun 2000 sebagai pengguna krl, baru kali ini merasa bahwa dunia semakin tak terbatas. Kita bisa saling menolong meski tak kenal. Ya, bentuk simbiosis ala pegawai rendahan bergaji 2 jutaan perak per bulan yang harus berjuang mensiasati uang transport, uang makan dan kebutuhan lain.
Pegawai yang dianggap rendahan ini adalah para pejuang yang dengan gigih bangun sebelum subuh, bersiap kembali berangkat ke kantor meretas asa demi perut. Pegawai rendahan yang selalu menjadi tertuduh dalam penyimpangan uang negara dan telah bersusah payah menghidupi keluarganya demi perut.
Sepakat, pegawai rendahan yang dianggap mapan tapi dalam batin masih menjerit dan memeras otak agar bisa tetap merasa cukup.
Pegawai yang hidup di atas ambang minimum ini adalah kata yang sering disematkan bagi para pegawai yang tekun mempertahankan nasib.
Sederhana ternyata. Pegawai yang terus sibuk berjibaku bagaimana bisa tetap bertahan hidup dengan 2-juta saja per bulan.
#Coretan dalam perjalanan pulang menuju Depok#
Comments
Post a Comment