OTW to Narita Tokyo International Airport - University of Tsukuba

Tepat tanggal 25 September 2016 pukul 05. 00 sore saya berangkat dari Depok menuju bandara Soekarno - Hatta, Cengkareng. Tujuan perjalanan saya adalah ke Jepang dengan penerbangan pukul 21.55 WIB via Japan Airlines (JAL). Tiba di bandara Soetta, saya langsung check in. Tampak barisan antrian yang sangat panjang. Jujur saja, saya degdegan dan berkeringat dingin. Inilah pertama kalinya dalam hidup saya akan terbang ke negeri orang, masuk dalam room International Flight dan akan menempuh perjalanan selama 7 jam di atas pesawat sendiri. Rasanya nano-nano. Sedih karena akan meninggalkan keluarga dalam waktu lama. Kekhawatiran yang campur aduk semakin menggelayut di kepala hingga kadang menghilangkan konsentrasi. Koper besar yang berat dan 2 tas backpack lumayan bikin tangan saya pegal dan tenaga saya terkuras. 

Dalam arus barisan antrian yang panjang, tiba lah saya di counter check-in. Koper saya pun ditimbang dan dengan berat hati sang petugas menyatakan bahwa koper saya overloaded 5 KG dan harus dibongkar. Sebenarnya kapasitas bawaan saya total 46 KG tapi dengan syarat (koper harus dibagi 2 dengan masing-masing kapasitas 23 KG). Niat awal saya sebenarnya adalah membuat bawaan praktis dengan satu koper. Tapi apa boleh buat, aturan tetaplah aturan. Saya semakin panik dan bingung. Saya coba bernegosiasi dengan petugas, apa tidak bisa dimaklumi karena status saya akan tinggal lama di Jepang sebagai pelajar. Tampaknya aturan ini tak mungkin dilanggar oleh mereka dengan berbagai alasan bahwa koper sejatinya diangkat oleh manusia dan kapasitas yang 29 KG sangat tidak manusiawi bagi para porter itu. Alternatif lain harus bayar sekitar 850.000 kelebihan bagasi tapi sama saja akan jadi masalah nantinya. Akhirnya saya tak ada pilihan, saya mundur dari counter dan keluar mencari suami dan keluarga saya yang lain untuk melaporkan masalah ini. 

Tak lama kemudian, suami dan adik saya Ira berlari-lari mencari tas untuk mengeluarkan pakaian dengan kapasitas 5 KG tersebut. Sembari anak saya juga minta perhatian. Saya tahu hatinya pasti terpukul, karena dalam kondisi ingin ditinggal, saya tak cukup perhatian pada keadaan emosinya yang sedang demam juga dan saya pun di sisi lain dikejar waktu untuk segera check in. Ini dilema maha berat. Akhirnya pakaian pun telah dikeluarkan dan makin bertambahlah tentengan saya. Dalam keadaan sempoyongan dan rasa yang serba nano-nano, saya dilepas oleh suami, anak saya, ibu dan adik-adik saya. Tetesan bulir-bulir air dari mata saya sulit dibendung. Semakin jauh saya melangkah, semakin saya berkaca-kaca menengok mereka dalam lambaian tangan di balik koridor pintu masuk check in.

Saya pun beranjak melalui imigrasi dan menuju mushola untuk sholat. Selepas sholat, saya duduk termenung, flash back mengingat proses yang barusan saya lalui dan keluarga yang pasti siap-siap pulang ke Depok. Tinggallah saya sendiri dengan rasa haru biru yang tak mungkin diungkap dengan kata. Aroma perpisahan semakin kuat dan semakin mempercepat produksi air mata saya bertambah dan bertambah. Tak ada ucap selain doa dan harap semoga mereka baik-baik saja. Dalam kondisi mata yang sembab saya pun melangkah masuk mengikuti proses selanjutnya hingga ke ruang tunggu. Tak lama saya duduk di ruang tunggu, seluruh penumpang pun dipersilakan naik ke pesawat. Langkah saya yang pelan dan gontai saya kendalikan dengan doa agar perjalanan saya lancar. 

Pesawat pun take off, hening disertai cahaya lampu yang redup. Perasaan makin melankolis, saya berusaha untuk tidur, keluar dari bayang-bayang kesedihan yang dalam, saya alihkan dengan pejaman mata agar saya bisa pulas tidur dan istirahat. Tertidur tapi tak lelap.

Dalam perjalanan di atas udara, pramugari bolak-balik di samping saya, menawarkan makan malam, tapi tak ada moslem meal yang tersedia, saya pun hanya mendapatkan sebungkus kerupuk nasi dan segelas susu. Menu berikutnya pada saat sarapan lebih baik. Pramugari ini cukup detail menjelaskan kandungan makanan yang disajikan di depan saya. Menunya lebih serius dan lengkap dengan buah. Lumayan mengobati rasa lapar saya semalaman.

Tak lama kemudian, pasawat mendarat. Saya pun keluar di pesawat dan mencari-cari sosok teman sesama calon pelajar. Devi namanya. Akhirnya kami sama-sama keluar dan saya melewati proses imigrasi yang singkat sebagai pengguna paspor biru. Resident Card langsung dalam waktu kurang lebih 4 menit saja. Devi malah sebaliknya. Karena menggunakan paspor hijau ia harus melewati proses yang berbeda. Saya sempat kehilangan jejaknya. Ia menghilang dari pengawasan saya, saya pun sempat panik, ke mana dia. Saya melongok ke lantai bawah, ia tak ada. Saya pu bingung mau kontak ke mana, Hape tak berfungsi, simcard tak berfungsi. Wifi belum bisa terdeteksi. Akhirnya sambil saya ambil bagasi, dan masih berharap bisa menemukan Devi. Untungnya semalam saya masih sempat melirik dan mencoba mengingat-ingat bentuk dan model kopernya, dengan harapan ia masih ada di sekitar bandara dan kopernya masih di dekat posisi saya berdiri. Sembari melihat ke lantai atas dan depan belakang saya, akhirnya ia muncul juga. Tampaknya ia telah melalui proses imigrasi yang lebih lama dan berbeda.

Agenda selanjutnya mencari Money Changer untuk menukarkan rupiah ke yen. Lagi-lagi ini kesalahan strategi karena menukarkan mata uang rupiah di bandara ini bikin nilai rupiah makin kecil. Uang 16 juta saya tukarkan hanya dinilai dengan 75 ribu yen lebih. Ini benar-benar penyesalan seumur hidup. Penyesalan saya karena waktu di Depok, saya tukarkan rupiah ke yen masih dihargai 131 rupiah=1 yen. Kalkulasi saya setelah itu adalah saya kehilangan 8 juta kurs rupiah di Narita. Menyakitkan! Suami saya sangat murka dengan nilai itu:(

Kami pun akhirnya memutuskan memutuskan agenda berikutnya yaitu naik bus. Tak lama berselang, kami ketemu sesama orang Indonesia dengan tujuan yang sama ke Tsukuba. Sebelum naik bus, Devi melapor ke counter Monbukagakusho dan bertanya ke informasi terkait posisi kami harus membeli tiket bus ke Tsukuba. Perhitungan naik bus pun kami harus smapaikan ke tutor masing-masing yang akan menjemput di Tsukuba Center. Karena saya dan Devi tak punya koneksi internet, kami pun ditawarkan oleh petugas informasi Monbukagakusho untuk menelpon tutor masing-masing terkait jadwal naik bus. Setelah itu, petugas memandu kami membeli tiket. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar.

Kami pun naik bus pukul 09.35. Jadwal yang sangat precise!
Sepanjang perjalanan dalam bus, saya dan Devi berbincang-bincang banyak hal sambil menikmati perjalanan menuju Tsukuba. 

Tiba di Tsukuba Center, seluruh international students tampak antri menunggu dijemput oleh tutor masing-masing, Saya merasa sangat istimewa karena Kentaroh Iwata Tutor saya satu-satunya yang melambaikan tangan dengan kertas berisi nama saya dilengkapi dengan agenda di balik kertas itu. Saya lirik ke kiri dan ke kanan, teman saya tak disambut sedemikian itu, bahkan tutor Devi saja telat dan Kentaroh dengan berbaik hati meminjam ponselnya untuk menelpon tutor Devi. 

Akhirnya Ken pun membantu saya mengangkat barang-barang bawaan saya. Selain ganteng, anak ini sangat baik dan smart dalam menjelaskan banyak hal dan ia juga detail dan sistematis. 

Kami pun turun dari bus menuju Ichinoya Community Center. Dalam ruang ini, semua proses registrasi dormitory dilakukan oleh para international students didampingi tutor masing-masing. Semua alur proses sangat rapi dan tertib. Saya bayangkan jika administrasi publik di Indonesia bisa serapi ini. Ini masih lingkup kampus, saya pun membayangkan tentu administrasi publik orang di Jepang jauh lebih sistematis daripada proses yang sedang berlangsung ini. 

Setelah proses registrasi dorm selesai, saya pun diantar menuju Ichinoya Building 35. Di sana saya harus login untuk membuka kunci akses masuk ke kamar yang sudah dibagikan oleh petugas tadi. 

Dalam kondisi badan yang masih berkeringat, saya pun dipandu oleh Ken untuk mengurus proses residential di City Hall. Awalnya saya mau mandi dulu, tapi Ken menyarankan supaya proses residentialnya dipercepat karena pada hari saya tiba tanggal 26 September ini pasti antrian di City Hall ramai dan antri oleh international students lainnya. 

Saya dipandu untuk membeli kartu semacam multi trip untuk naik bus dan kereta. Kartu Passmo langsung jadi via machine dengan saldo 2 ribu yen. Untuk saldo sebanyak itu lumayan bisa 2 kali trip. 

Sistem residential Jepang ini memang keren, rasa-rasanya tidak akan ada warga negara selundupan yang bisa masuk ke negeri ini. Setiap orang harus terdaftar dalam kependudukan terlepas status sebagai pelajar atau pekerja. Sambil antri, saya pun mencari lunch. Saya dan Ken ke Convenient Store/Seven Eleven membeli nori untuk mengganjal perut. Kami kembali ke City Hall, Blue Card/Resident Permit sudah jadi dan selanjutnya ke counter Health Insurance. Dalam 10 menit menunggu, Health Insurance pun selesai. 

Setelah semuanya selesai, saya kembali ke dorm untuk bersih-bersih dan agenda selanjutnya mencari makan malam, orientasi ke department store/supermarket dipandu Ken. 

Agenda hari pertama tiba di Tsukuba sudah selesai dan siap-siap untuk agenda hari berikutnya.





Comments

Popular posts from this blog

Istirahat Makan Siang

Memasak Sebagai Kegemaran 'Baru' tapi Lama