Ujian itu namanya Paper

Lima mata kuliah telah berakhir. Sisa satu yang masih ada edisi pertemuan hingga February mendatang. Baru kali ini saya kuliah, ujiannya nggak di dalam kelas dalam suasana hening dan sibuk menjawab soal. Ujian saya nggak pake soal dan pertanyaan lalu diisi di lembar jawaban. Tak ada hafalan, tak ada handbook dan hanya belajar dengan kumpulan soft file jurnal yang dikirim sang professor ke email. Tugas mid-semester dan final-semester adalah paper. Ujian itu namanya paper

Apakah mudah? Lebih enak mana mengerjakan soal atau menyusun berlembar-lembar essay?  Hmmmm, saya dari dulu memang nggak pernah nyaman belajar dengan menghafal makanya IPK saya biasa-biasa aja. Saya lebih senang membaca dan memahami apa yang saya pelajari. Jika ada pertanyaan yang harus saya jawab persis di buku, nah saya pasti tak mampu melakukannya dengan baik dan benar. Cuma saya heran seingat saya, waktu SD sampai SMA pola ujian saya adalah menjawab persis dengan materi yang disampaikan pak dan bu guru. Hafalan full dan saya mampu menghafal materi-materi itu dan beberapa kali rangking 3 ke atas. Seumur hidup saya belum pernah merasakan posisi di juara 1 dan 2. Rasanya seperti apa? Untungnya suami saya berpengalaman di posisi itu. Mungkin itulah Tuhan menjodohkan saya dan dirinya agar bisa mengecap pengalaman beliau. Jadi ilustrasi saya bahwa menyusun paper itu sebenarnya lebih nikmat tapi membuat kita juga teledor. Teledor karena kadang lalai mengatur waktu. Di satu sisi menyenangkan karena saya akan belajar banyak dari bacaan. Saya diuji untuk jujur dan punya integritas akademik. Apakah itu? Integritas akademik adalah kemampuan melakukan sintesa atau membahasakan pikiran saya sendiri atas bacaan yang telah saya serap lalu dituangkan dalam sebuah essay. Paper bukanlah kumpulan paragraf-paragraf copy paste atas bacaan yang berkaitan dengan topik tulisan. Saya diminta untuk mengkritisi berbagai opini atau sudut pandang para ahli dengan membackup opini dan pandangan saya dari berbagai hasil temuan yang bersifat saintifik. Saya diuji untuk jujur dan tidak tergoda untuk mencap hasil pikiran orang menjadi hasil pikiran saya, walaupun mungkin saya setuju dengan pandangannya tapi saya akan sangat tidak etis mengutip hasil pikirannya seenak perut saya tanpa mencantumkan sumber asli hasil pikiran tersebut. Inilah yang maha berat karena menyusun paper dengan menggunakan bahasa kedua yakni bahasa Inggris yang tentu saja academic English. Bahasa Inggris saya sejak tahun 2010 sudah anjlok nggak karuan. Lalu sekarang saya diuji dengan cara seperti ini. Yaaa, nasib harus diterima dengan lapang dada. Saya merasa benar-benar payah kadang-kadang. Kalo menggunakan bahasa Ibu, tentu saya nyaman saja diskusi di kelas. Kini, tatkala saya ingin menyampaikan gagasan atau pendapat, tiba-tiba mikir, ah orang paham nggak ya maksud saya. Awalnya terasa agak memalukan menyampaikan opini dengan ungkapan yang panjang dan bertele-tele tapi kini saya pikir inilah tantangan. Tak ada pilihan selain menghadapinya. Penyakit 'engggan' makin membuat saya tak berdaya. Maka saya tak perlu merasa sungkan untuk bertanya atau menyampaikan hal yang saya rasa penting untuk dipahami orang lain di kelas. Seringkali orang yang tak paham, mendiskreditkan budaya atau membenarkan stereotype di kelas, ketika diam, itu akan jadi fakta yang diterima. Nah, tak ada alasan untuk malu menyampaikan hal yang menurut kita benar, toh. Pengalaman saya dalam mata kuliah International Relations, sang professor adalah staf United Nations (UN). Ia pernah jadi peacemaker di Timor Leste. Timor Leste tentu saja masih kental dengan Indonesia kala itu. Kebetulan saya berasal dari Indonesia. Sang Professor mengkonfirmasi sesuatu ke saya. Saya jawab saja sekenanya. Zaman Timor Leste gencar ingin hengkang dari Indonesia saat saya SMA. Saya jelaskan saja sepanjang yang saya tahu. Kemudian, ada pembahasan tentang karakter orang Timor Leste yang dianggap buruk saat itu. Tampaknya dalam diskusi saat itu kesimpulan yang akan diputuskan di kelas adalah soal budaya. Penerimaan karakter buruk lalu digeneralisasi menjadi budaya? Saya kok rasanya nggak sreg saat itu. Saat sang professor ingin membuat kesimpulan itu, saya langsung sampaikan bahwa ini karakter personal, tak bisa digeneralisasi menjadi budaya seolah-olah semua orang Timor Leste demikian lalu disamakan pula dengan budaya orang Indonesia. Akhirnya ia pun merespon 'Good Point'. Yes, that's true. Oh, Come on, mudah amat menyimpulkan, Bu...

Comments

Popular posts from this blog

Istirahat Makan Siang

Orang Jepang itu kayaknya Islami deh

Akibat Overestimate