Memasak Sebagai Kegemaran 'Baru' tapi Lama

Sejak kecil saya jarang terlibat aktif di dapur. Ibu saya juga tidak memaksa saya untuk segera belajar memasak. Saya hanya gemar makan dan bermain saat itu. Kini setelah menikah, keadaan memaksa saya untuk bisa memasak. Maklum suami saya orang Minang. Lidahnya tak akrab dengan makanan warteg apalagi umumnya makanan yang dijual adalah menu masakan Jawa. Menu warung Padang pun lebih banyak tidak sesuai dengan seleranya. Katanya warung Padang yang ada di Jakarta hanya cocok untuk lidah orang Jakarta yang belum fasih pada makanan asli khas Minang. Rumah makan Padang yang ditemui di Jakarta masih rasa yang belum Minang banget:). Intinya selera suami saya agak 'berat' lah:-). #ampun dulu sebelum suami saya baca blog ini;)

Dapat saya simpulkan bahwa dengan menikah membuat saya harus mahir memasak ala Minang:). Sayangnya, saya masih kategori amatir tapi namanya juga usaha membuat saya belajar. Belajar dari yang berat karena umumnya masakan Minang dianggap lebih ribet. Ribet karena bumbu yang digunakan lebih variatif. Di saat itu lah saya belajar tentang jenis rempah-rempah dan kegunaannya. Saya baru mengenal kunyit, jahe, lengkuas, serai, daun salam dan rempah lainnya saat itu. Jika di tanah Bugis, masakan sehari-hari umumnya lebih banyak yang 'plain' alias bening-bening dan hanya sesekali berkari itu pun di momen-momen istimewa seperti hari lebaran atau pesta pernikahan. Di tanah Minang tentu saja berbeda. Jika Anda ke Sumatera Barat, jangan berharap menemukan sayur bening di rumah makan, Anda pasti akan disuguhi masakan yang bersantan dan bercabai-cabai merah atau hijau.

Setelah punya anak tentu saja kreativitas memasak harus naik level. Anak saya kini sudah TK A. Setiap pagi harus siap dengan bekal makanan dari rumah. Namun, karena sering kali tak sempat memasak karena harus segera berangkat kerja, saya lebih banyak menyuguhinya dengan snack-snack sejenis oat dan roti. Padahal setiap hari terpikir untuk masak ini-itu untuk anak saya, saya koleksi resep dari berbagai sumber, saya gunting-gunting dan tempel di dapur tapi lagi-lagi pikiran dan realitas tak sejalan. Sedih tentu saja. Pikiran ideal saya belum sejalan dengan energi dan waktu yang saya miliki. Perasaan bersalah, kecewa dan penuh sesal tak mampu menyajikan yang terbaik untuk keluarga yang dicintai sering hinggap di hati saya. Apa daya, waktu tersita lebih banyak di luar rumah.

Lalu, beberapa waktu yang lalu saya ikut online course dari Stanford University dengan tema Child Nutrition and Cooking. Sebenarnya sudah berbulan-bulan yang lalu saya registrasi dan coursenya juga hampir selesi, tapi saya kurang disiplin membagi waktu saja. Lalu, saya akhirnya semakin terusik karena tidak konsisten dengan diri saya, maka saya mulai bertekad harus selesai sampai episode terakhir. Saya banyak belajar dari topik ini. Maya Adam, MD sebagai host Course ini membuka mata dan pikiran saya tentang 'Home Cooking'. Yes, Home Cooking Matters. Memasak itu punya makna. Masak untuk keluarga lalu makan bersama punya 'Value'. Menurut saya, tema ini sederhana tapi berat. Diam-diam saya mengagumi Maya ini. Saya salut pada ibu ini, karena selain cantik, suaranya punya power untuk mengadvokasi, ditambah karena dia memang ahli dalam topik ini dan menjadi dosen pula di Stanford University. Tampaknya, dia adalah ibu yang penuh dedikasi.  Perfecto lah buat jadi idola. Lalu, saya jadi follower dia di tweeter, saya juga rajin update posting-postingnya yang menurut saya itu 'priceless'. 

Beberapa rekomendasi yang disajikan juga memberikan banyak inspirasi untuk saya pada course ini yaitu http://opinionator.blogs.nytimes.com/2013/04/17/pollan-cooks/?src=rechp atau di http://opinionator.blogs.nytimes.com/2013/04/17/pollan-cooks/?src=rechp.  Dari link tersebut sebenarnya ingin menyadarkan kembali bahwa tidak ada alasan untuk malas memasak atau tidak punya waktu untuk memasak. Di balik kemalasan dan keengganan memasak terdapat harga mahal yang harus dibayar. Itu menohok sebenarnya bagi saya. Excuses yang terlalu banyak sampai lupa bahwa dengan memasak sendiri di rumah esensinya memastikan semua yang masuk di perut keluarga adalah makanan yang layak dan terjamin nutrisinya. Tapi, ini pun perlu edukasi yang intensif. Saya merenungi perkataan Mark Britman ini 'Children are probably more likely to develop healthier eating habit if their parents cook, and there are countless reasons it pays to cook  for your kids.' 

Lalu soal enak atau tak enak, cooking is not so much a matter of right or wrong but of learning what you like. Oh Tuhan, ampuni saya karena sering minder dan dihantui rasa takut kalau masakan saya tak enak. 

Ini juga pengingat untuk saya pribadi bahwa siapapun ketika memasak di rumah pasti ingin menghadirkan yang terbaik. Termasuk Anda pasti akan berpikir seperti ini. When you cook, you choose the ingredients: “And you’re going to use higher-quality ingredients than whoever’s making your home-meal replacement would ever use. You’re not going to use additives. So the quality of the food will automatically be better. Ya, saya telah di capo extrimist dan anti terhadap zat adiktif oleh suami saya. Tapi sejauh ini sebenarnya tidak seideal itu juga. Saya masih toleran memakan hidangan yang dibeli yang pastinya tak ada jaminan jika makanan itu bebas penyedap. 


Value lain yang ingin menjadi bahan renungan untuk saya adalah pernyataan ini. Cooking links us to nature, it links us to our bodies. It’s too important to our well-being to outsource.' Memasak menjadi sebuah penyadaran alami bahwa saya adalah bagian dari alam ini. Tubuh dan pikiran saya menyatu dengan alam dan yang saya masukkan ke dalam perut saya pun adalah hasil alam. itu adalah nature yang tak bisa disangkal, bukan?

Soal value lain adalah tak perlu ada stigma bahwa memasak adalah urusan perempuan. Siapa bilang? Bukankah Anda sering saksikan bahwa Master Chef yang ganteng-ganteng dan prestisius di tv itu adalah pria-pria yang mencintai memasak dan memilih profesi sebagai tukang masak. Lalu, ke mana perempuan-perempuan yang diberi label sebagai tukang masak di dapur. Pernyataan berikut ini pun menggugah saya. Here’s no longer a stigma attached to males cooking, and cooking is not only a democratic pleasure, it is also daily creativity, it’s economic, it’s healthy, and it’s a link to the natural world. And though it may take time, cooking can be about patience and letting things happen. Good things, on many levels.

Nah, satu lagi faktor kunci untuk rajin masak di rumah adalah mencegah kegemukan. Because cooking reduces obesity and reducing obesity reduces disease. Get a couple of hundred thousand kids cooking now and who knows what might happen in 20 years?

Dari course ini, outcome untuk week 1 mungkin agar saya rajin memasak:)


Comments

  1. Replies
    1. Terima kasih anty sdh mampir ke sini. Caranya gampang kok. Kunjungi www.coursera.org aja. Tinggal pilih mau ikut course topik apa, registrasi dan bisa ikut kpn aja:). Have a try:)

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Istirahat Makan Siang

Orang Jepang itu kayaknya Islami deh

Akibat Overestimate