Mengapa Harus Teriak?

Beberapa malam yang lalu saya ‘dipaksa’ untuk mendengarkan ceramah dari masjid yang sekitar berjarak 700 meter dari rumah saya. Saya tidak mendengar sedetail apa isi ceramah tersebut tapi tampaknya ia berisi pesan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan hingga pukul 11 malam suara teriakan tersebut masih terdengar memekakkan telinga. Sepertinya sang ustadz tersebut telah memaksimalkan seluruh energy dan suaranya meski telah dibantu dengan microphone. 

Saya sebagai orang awam jadi bertanya-tanya dan mencari defenisi yang tepat, ingin memahami teknik-teknik yang elegan dan bersahabat dalam menyampaikan pesan kebenaran yang amat bermakna. Saya yakin pesan yang ingin disampaikan sang ustadz teramat berharga dan mulia karena yang terpatri dalam dirinya tentu saja keinginan tulus menyuarakan kebenaran dan hujjah dari teladan kita Nabi Muhammad SAW. Namun saya terusik dengan cara yang kurang simpatik jika pesan yang mulia itu justru tidak disampaikan dengan wajar dan menarik.

Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam benak saya…

  1. Apakah dengan ‘teriakan’, nada tinggi sangat efektif mampu menggugah pendengar? Apakah kita semua sudah agak ‘tuli’ sehingga harus diteriaki?
  2. Apakah metode atau pola dakwah/ceramah ini masih relevan dan efektif bagi para khalayak untuk dipahami?
  3. Apakah dengan berteriak yang terkesan mengeluarkan urat leher itu mampu dan sudah terbukti seluruh isi pesan sang ‘orator’ di tangkap oleh audience?
  4. Apakah benar pola seperti ini lazim digunakan oleh para pendahulu-pendahulu kita sehingga gaya orasi ini harus turun temurun digunakan oleh ustadz kita? Ataukah style ini adalah hanya type orang per orang yang tidak mesti jadi ‘pelaziman dan kelaziman’?
  5. Jika tidak mesti jadi kelaziman, maka apakah tidak lebih baik mencari atau menyesuaikan style seorang orator dengan kuping audience sehingga tidak ada lagi orang yang merasa ‘dipaksa’ atau ‘terpaksa’ mendengar teriakan?


Dalam pikiran bodoh saya, semanis apapun kalimat atau maksud kita menyampaikan suatu maksud jika tidak dikemas dalam bingkai yang simpatik rasa-rasanya sulit diterima secara tulus.

Ibarat seorang guru menyampaikan materi pada murid-muridnya, ia tentu saja bekerja keras mencari metode, teknik yang pas sesuai dengan gaya belajar siswanya. Bisa dibayangkan jika diantara audience tesebut ada type orang seperti ‘Khan’ dalam film My name is Khan yang digambarkan sosok autis yang cerdas nan lembut tapi pantang&takut serta tiba-tiba histeris ketika mendengar suara yang keras dan bernada tinggi. Tentu ia akan berlari sejauh-jauhnya menjauhi ‘kegaduhan’ itu. Bagaimana pula jika type orang tua yang doyan berteriak untuk menasehati anak-anaknya dengan asumsi gaya ‘keras’ ini jauh lebih mumpuni dibanding dengan rangkulan dan belaian lembut sang papa/mama pada buah hatinya. Menyikapi efek psikologis ini, bagaimana sebaiknya seorang pendakwah yang baik itu?

Guru yang berbicara pada muridnya, orang tua yang memberikan pencerahan pada anaknya apatah lagi seorang ustadz yang berbicara pada seluruh ummat dengan pertimbangan seluruh tingkat pemikiran pada umumnya menyatu di tempat itu.
Apakah sang ustadz tidak sebaiknya me-reformulasi dirinya sebagai public speaker yang mampu menyihir audience dengan penuh kelembutan dan elegan?

Jika ada teknik yang cukup bijak dan manusiawi bagi kuping kita, kenapa tak mencoba?
Bagaimana jika ustadz ini mencoba tips dan triks para public speaker layaknya CEO perusahaan raksasa, mempelajari marketing ‘produk’ menjadi marketing ‘kebenaran’. 

Langkah yang paling sederhana barangkali ustadz sekali-sekali tidak perlu berdiri di podium..jika perlu gunakan PPT agar pesan dapat tervisualisasi dengan baik dan jelas. Paling tidak metode Multiple Intelligencenya Howard Gardner yang umumnya diterapkan di sekolah-sekolah kenapa tidak bisa diterapkan untuk pencerdasan ummat di mesjid? Orang awam justru jauh lebih tertarik dan tergoda menikmati sesuatu yang agak ‘sophisticated’ ketimbang dikungkung dalam keawamannya. Logikanya kapan kita bisa ‘advanced’ memahami kebenaran jika kita terus diberi layanan ‘basic’ sepanjang hayat hidup kita?

Ibarat satu budaya yang tak pernah mengenal pakaian layaknya yang kita pakai saat ini, sepanjang perjalanan hidupnya, mereka tak pernah disentuh dengan peradaban baru, lalu kita mengaku sebagai teman yang ‘modern’ malah sibuk menertawakan karena kita hanya mampu memanfaatkan keawaman mereka sembari berlindung pada dalih pembenaran ‘ menjaga kelestarian budaya lokal.’ Namun, apakah kita pernah mencoba melihat betapa senangnya mereka mengenal dunia luar yang ramah. Lalu mengapa kita tidak menawarkan keramahan itu? Akhirnya pertanyaan kembali menguak.

Jika peradaban saat ini sedemikian maju dan berkembang, fashion membanjiri seluruh pelosok kota, mall-mall di sana-sini lalu mengapa masih saja ada kehidupan di pelosok sana yang belum menikmati peradaban terkini?

Apakah karena mereka memang menutup diri dari perubahan ataukah mereka memang tak tersentuh oleh jargon “pemerataan pembangunan” padahal kita hidup di negeri yang sama?
Mereka kah yang tidak ingin berubah atau tak ada yang berkehendak menawarkan perubahan itu?

Ok, setelah memahami orasi dengan penyampaian yang wajar, maka yang tak boleh luput dari kita adalah konteks isi pesan: terkadang kita hanya mendengar isi ceramah atau fakta-fakta yang disajikan hampir sama sepanjang tahun… artinya apa…fakta yang diungakapkan tak pernah disertai refleksi dan analisis yang mendalam padahal bisa jadi dibalik fakta-fakta tersebut terdapat riset-riset yang terkini. Yang agak menakutkan jika ketika fakta-fakta tersebut sudah diteliti merupakan kebohongan lalu diungkap lagi..maka benarlah suatu ungkapan “Ulang-ulangilah Kebohongan hingga menjadi Kebenaran”.

Yang tidak kita inginkan adalah Pengulangan Kebohongan menjadi “Kebenaran Publik”, bukan? Jika kasus ini memang terjadi maka dalam posisi sebagai orang awam kita pun dituntut untuk semakin kritis dan proaktif menguji kebenaran yang telah terterima. Kadang kita perlu membongkar hasil analisa dan logika kita agar semakin runut dan logis dalam menerima produk kebenaran dari siapapun.
Contoh: Dulu saya pernah mendengar bahwa Rasulullah SAW adalah orang ‘Ummi’, banyak orang memahami dalam penjelasan tersebut dikatakan bahwa ummi adalah ketidak mampuan dalam membaca dan menulis. Dengan kata lain, buta aksara. Jika kita lemah dalam literature sejarah, tentu saja dengan mudah kita terjebak dalam satu versi pendapat. Mengapa? Karena versi bahwa Rasulullah ummi telah banyak mengalami kajian fakta sejarah sehingga muncul berbagai pandangan yang menemukan makna ummi yang sesungguhnya. Ummi nya Rasulullah dalam konteks ini adalah beliau saat itu tidak mempunyai kitab dan tidak mampu membaca kitab. 

Berbeda dengan nabi dan rasul pendahulu beliau yang beberapa diantaranya mempunyai kitab dan membacanya. Jika memang benar beliau tidak mampu membaca dan menulis lalu mengapa saat beliau berniaga ke Syam, perdagangannya begitu sukses? Dan saat beliau melakukan perjanjian Hudaibiyah, mengapa ia sendiri yang mengganti dan mencoret namanya dalam perjanjian tesebut dari kata “Muhammad Rasulullah” menjadi ‘Muhammad Bin Abdullah?’ Lalu mengapa saat menjelang wafat, beliau meminta alat tulis untuk menuliskan sesuatu namun tidak dipenuhi karena beliau dianggap mengigau?

Lalu sebagai pemberi pencerahan, bagi sang ‘orator’ tentu jauh lebih efektif dan relevan ketika fakta-fakta 10 tahun lalu tetap diperdengarkan tapi tentu saja disertai dengan makna-makna kajian realitas yang lebih segar. Karena saya yakin siapapun tentu saja akan terus mencari dan mencari kebenaran yang otentik dan sebagai seorang ‘penyampai yang haq’ tentu sang ustadz dituntut berada di garda terdepan untuk menguliti kebohongan-kebohongan opini dan fakta yang berkembang dan melekat akut di benak ummat. So, ustadz juga harus banyak melakukan riset atau penelitian untuk up date status gitu lho.

Comments

Popular posts from this blog

Istirahat Makan Siang

Memasak Sebagai Kegemaran 'Baru' tapi Lama